Senin, 16 Februari 2009

Sang Jenderal Atasi Infeksi Kemih

Ini pertanda makhluk mini Escherichia coli menginfeksi saluran kemih: panas bagai terbakar ketika berurine. Perut bagian bawah sakit dan urine keruh indikasi lain. Itulah sebabnya bagi penderita infeksi saluran kemih, berurine saat-saat paling menyiksa. Minum rebusan daun kejibeling, mampu menyudahi siksaan itu.


Bakteri anggota keluarga Enterobacteriaceae itu datang menginfeksi saluran kemih karena gaya hidup tak sehat seperti jarang mengganti pakaian dalam dan alpa membersihkan alat kelamin setelah berurine. Dalam riset ilmiah, Dr dr Indwiani Astuti, Dr dr Praseno SpMK, dan Lubena membuktikan bahwa kejibeling Strobilanthes crispus manjur mengatasi infeksi saluran kemih atau ureter.

Saluran kemih atau ureter berfungsi mengalirkan urine dari piala ginjal ke kandung kemih. Mereka memanfaatkan jasa baik 20 mencit. Saluran kemih satwa percobaan itu diinfeksi bakteri E. coli. Indwiani membagi mencit-mencit itu menjadi 4 kelompok masing-masing terdiri atas 5 ekor. Ia memberikan ekstrak kejibeling pada kelompok pertama, siprofloksasin (grup II), campuran ekstrak kejibeling dan siprofloksasin (grup III).

Grup keempat merupakan kelompok kontrol. Dosis dan frekuensi pemberian untuk ketiga kelompok sama: 0,1 cc per ekor 2 kali sehari selama 3 hari. Periset itu memperoleh ekstrak dengan merebus 500 gram daun kejibeling dalam 2 liter air hingga mendidih dan tersisa separuh. Tablet siprofloksasin lazim sebagai obat untuk mengatasi infeksi ureter yang banyak diresepkan para dokter. Indwiani melarutkan 500 gram siprofloksasin dalam 40 ml air sehingga konsentrasi menjadi 1,2 per 0,1 cc.

Koloni rendah

Pada hari ke-4 setelah perlakuan, ia mengambil ginjal dan ureter satwa percobaan, serta menumbuk secara terpisah hingga hancur. Untuk mengetahui jumlah bakteri E. coli, Indwiani 'menumbuhkan' gerusan ginjal dan ureter di media agar selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Setelah itu ia menghitung koloni bakteri berbentuk batang itu. Hasilnya, koloni E. coli di satwa percobaan yang minum ekstrak kejibeling lebih rendah. Koloni bakteri di ginjal hanya 64 x 105, 200 x 105 (ureter), dan 0,01 x 105 per ml urine.

Bandingkan dengan koloni kuman di mencit yang minum siprofloksasin: koloni bakteri 6 kali lebih banyak ketimbang rekannya yang minum ekstrak kejibeling. Yang paling tokcer, keruan saja perpaduan ekstrak kejibeling dan siprofloksasin. Menurut ahli Farmakologi Kedokteran Universitas Gadjah Mada itu campuran kejibeling dan siprofloksasin membunuh bakteri serta menghambat replikasi DNA bakteri.

Sayangnya, dengan antibiotik siprofloksasin resesi bakteri bakal meningkat dari waktu ke waktu. Selain itu konsumsi siprofloksasin berefek samping seperti mual, muntah, diare, sakit kepala, dan gangguan kulit berupa gatal. Oleh karena itu pasien infeksi ureter berat akibat MRSA methicillin resistant Staphylococcus aureus, enterokokus, dan pneumokokus menghindari konsumsi siprofloksasin.

Kejibeling yang juga sohor sebagai ngokilo itu justru sebaliknya. 'Ngokilo bekerja dengan menstimulasi sistem imun tubuh sehingga lebih aktif dalam mengeliminasi bakteri E. coli,' kata Indwiani. Riset itu sejalan dengan hasil penelitian Drs Djoko Hargono dari Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Jakarta. Djoko menguji praklinis dengan menginjeksi 1% sel darah merah domba ke tubuh tikus winstar.

Tujuannya untuk megetahui respons imunitas darah mencit yang diberi konsumsi 9 mg, 90 mg, dan 900 mg ekstrak kejibeling per ml selama sepekan. Pemberian perasan daun kejibeling segar terbukti mampu meningkatkan respon kekebalan tubuh mencit. Itu lantaran adanya peningkatan titer antibodi alias perhitungan zat antibodi dalam darah. Menurut Djoko, senyawa perasan daun kejibeling segar diduga berperan sebagai mitogen.

Mitogen merupakan molekul penginduksi sel agar membelah. Ketika mitogen bereaksi dengan permukaan sel imun, menghasilkan perubahan sel-sel imun tubuh yang bereaksi terhadap antigen. Begitu bakteri patogen seperti E. coli menyerang, mitogen mempengaruhi sel B untuk mensekresi antibodi dengan mengaktifkan sel T penolong. Dengan adanya mitogen respon imun berlangsung lebih tinggi dan lama.

Jenderal hitam

Menurut Prof Dr Sumali Wiryowidagdo, guru besar Jurusan Farmasi Universitas Indonesia, kejibeling mempunyai senyawa fenol bersifat antibakteri. 'Toksisitas senyawa fenol itu merusak membran sel bakteri dan bersifat sebagai desinfektan (bahan untuk mencegah infeksi atau pembasmi kuman penyakit, red) yang ampuh,' kata Sumali. Daun kejibeling pun kaya mineral kalium, kalsium, magnesium, dan fosfor. Kandungan senyawa organik antara lain karbohidrat, lender, steroid, triterpenoid, dan protein.

Sumali Wiryowidagdo mengatakan konsumsi kejibeling dengan merebus 8 daun setara 25 g yang dirajang kecil dalam 3 gelas air hingga mendidih dan tersisa ¾ bagian. Air rebusan berwarna hitam. Oleh karena itu masyarakat Tionghoa menyebut kejibeling dengan nama hei mian jiang jun yang berarti jenderal bermuka hitam. Setelah itu saring hasil rebusan, tambahkan madu secukupnya, dan minum selagi hangat. Hasil rebusan itu diminum 3 kali sehari.

Tanaman asal Madagaskar yang masuk ke Indonesia pada 1800-an itu juga berkhasiat antikanker. Prof Asmah Rahmat, periset dari Departemen Gizi dan Kesehatan Universitas Putra Malaysia, membuktikannya dalam uji in vitro. Betasitosterol dan stigmasterol dalam kejibeling tokcer membunuh sel kanker usus, kanker payudara, dan kanker hati. Asmah meneteskan ekstrak kejibeling pada ke-3 sel kanker itu.

Konsentrasi 25,1 mikrogram dan 28,0 mikrogram ekstrak kejibeling cukup membunuh sel kanker usus dan kanker hati. Efek mematikan itu tak berlaku bagi sel normal. Maklum, tumbuhan anggota famili Acanthaceae itu antara lain mengandung asam kafeat, asam vanilat, asam gentinat, dan asam sirinat. Senyawa itu bahu-membahu dengan kalium (51%), kalsium (24%), natrium (24%), dan ferum (1%) menyumbang konsentrasi antioksidan yang lebih tinggi ketimbang vitamin E.

Ingat, kejibeling mengandung enzim asparaginase. Ia mampu mengubah asparagin-protein untuk pertumbuhan tumor-menjadi asam aspartat dan amonia. Kejibeling yang dibawa ke Indonesia oleh Thomas Anderson, penyelia Kebun Raya Calcutta, India, itu terbukti multikhasiat. Tak semestinya kita membiarkan kejibeling cuma sebagai tanaman pagar pembatas halaman. (Faiz Yajri & Vina Fitriani)

Lanjut membaca “Sang Jenderal Atasi Infeksi Kemih”  »»

Petani Modern Yang Sukses

Banyak petani yang kini bernasib naas, hanya menjadi tukang tanam. Namun, di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa barat, ada petani-petani yang telah berhasil memperlihatkan diri sebagai petani modern yang sukses. Cirinya, kehidupan mereka tidak hanya berkutat di kebun. Mereka memiliki banyak waktu untuk membagi ilmu kepada masyarakat petani lain agar bisa menjadi lebih maju.

Menurut buku Fokus Hidup karya Jerry Foster, seorang perencana keuangan di Amerika serikat yang telah menjadi pembicara dalam Family Life, Weekend to Remember, Marriage Conferences, kesuksesan hidup memberikan lima dimensi keuntungan, yaitu finansial, intelektual, hubungan, rohaniah, dan jasmaniah. Semua dimensi ini tampak menjadi keseharian para petani di Desa Cibodas.

Menurut Doyo Mulyo Iskandar, seorang petani sekaligus Ketua Kelompok Tani Mekar Tani Jaya di desa tersebut, hampir seluruh petani di desanya memiliki pegawai di kebun. Jumlah pegawainya mencapai 4-50 orang.

Mereka bekerja secara berkelompok untuk memenuhi permintaan pasar secara berkesinambungan. Kesinambungan usaha yang dibangun atas dasar kerja sama ini mengakibatkan mereka bisa mendapatkan penghasilan Rp 2 juta per bulan.

Para petani juga bisa menabung untuk membangun rumah, juga menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi. Rumah- rumah mereka umumnya bersih dan besar. Selain rumah untuk kepentingan keluarga, mereka juga bisa membangun rumah untuk kepentingan tamu.

Doyo, misalnya, ia memiliki satu rumah lain lengkap dengan perabot rumah tangga yang ia sediakan sebagai penginapan para tamu, baik petani, mahasiswa, maupun pegawai dari berbagai dinas yang ingin mempelajari pertanian di desanya hingga beberapa hari.

"Kalau ada rezeki, saya tabungkan uang untuk membeli kasur baru agar semua orang yang datang bisa tidur dengan enak," kata Doyo.

Petani di Kelompok Tani Mekar Tani Jaya tidak menghabiskan waktu mereka di kebun untuk bekerja. Mereka sering pergi ke berbagai desa lain di Jawa Barat maupun di provinsi-provinsi lain untuk melatih petani. Sejak awal, para petani ini berkomitmen untuk berkonsentrasi membangun kemitraan dan melakukan pelatihan kepada para petani.

"Saya puas melakukannya. Bertemu dengan petani dan membagikan ilmu bukan berarti menambah saingan. Kami malah bisa mendapat ilmu baru," kata Doyo.

Doyo mencontohkan, selama ini ia dan para petani di Cibodas menanam stroberi dengan media tanah. Ternyata saat mengadakan pelatihan menanam stroberi di Jawa Tengah, para petani biasa bertani dengan menggunakan sekam. "Ternyata dengan sekam, air bisa tersimpan lebih lama. Bagi mereka, hal tersebut merupakan cara biasa, tapi buat kami itu pengetahuan baru," tutur Doyo.

Hampir di seluruh perkebunan milik petani, para buruh tani dipersilakan meluangkan waktu untuk menggarap tanaman yang mereka kelola di halaman atau di lahan yang mereka sewa. "Di kelompok tani Desa Cibodas, biasanya jika ada anggota kelompok yang sudah mampu mandiri, mereka dipersilakan keluar dan membentuk kelompok sendiri untuk melatih petani lain yang belum bergabung," ujar Doyo.

Tak heran jika di desa ini terdapat 16 kelompok tani. Setiap kelompok memiliki fokus usaha dan pelatihan sendiri. Kelompok Gapura Tani merupakan pengada bibit pertanian, Mekar Tani Jaya I mengurus pupuk organik, PD Grace membidangi sayur- mayur eksklusif untuk supermarket dengan bibit impor berikut teknologinya.

Ada juga Kelompok Tani Budi Rahayu yang ahli di bidang pertanian buncis. Kelompok Tani Wangi Harum membidangi bunga potong, dan Yans Fruit and Vagatables merupakan pencari pasar produk pertanian. Para petani di kelompok-kelompok tani bergabung dalam Paguyuban Pandu Tani.

Melalui kelompok-kelompok pula, para petani berhasil memikat generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian. Bobon Turbansyah (53), misalnya, ia memberi peluang sangat besar bagi pemuda di desanya bekerja di lahan pertanian, gudang pengepakan, atau kantor administrasi pemasaran dalam agrobisnisnya. Pemuda pencandu narkoba dan penderita gangguan jiwa pun dilibatkannya.

Hingga kini, setiap tahun sekitar 30 remaja berhasil dididik sebagai petani. Angka urbanisasi di Desa Cibodas pun sangat rendah, hanya tiga persen per tahun. Sementara penduduk baru mencapai 15 persen per tahun.

Dalam kelompok-kelompok tani, pengurus tidak mendapatkan gaji. Namun, kelompok membayar gaji kepada pekerja-pekerja yang mengurusi soal bisnis. Misalnya, pekerja di bidang administrasi pertanian. Gaji mereka bisa lebih dari Rp 1 juta per bulan.

Para petani juga selalu menyisihkan sedikit lahan di kebun untuk percobaan dengan memberi perlakuan khusus pada tanaman agar mampu mencapai produktivitas dan kualitas terbaik bagi hasil pertaniannya.

Selain itu, sebelum menanam suatu jenis tanaman, mereka melakukan analisis usaha. Dengan analisis usaha yang baik, mereka bisa melibatkan investor untuk bermain di dalam usaha pertanian mereka. Para petani pun sudah mampu membuat proposal. Salah satu hasilnya, para pensiunan dari sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia siap berinvestasi.

Tak hanya itu, dengan analisis usaha, mereka juga bisa dengan mudah mendapat pinjaman dari bank. Bahkan, karena lancar dalam pembayaran, bank bersedia memberi pinjaman lagi dengan jumlah yang lebih besar untuk digunakan sebagai modal usaha.

Dalam menganalisis usaha pertanian, Ishak (41), seorang petani sayuran, sudah memanfaatkan jaringan internet untuk mengetahui perubahan harga, komoditas unggulan, perubahan cuaca, metodologi dan pola bertani yang baru. "Tidak semua petani bisa menggunakan internet, tapi biasanya saya menyampaikan kepada mereka tentang informasi-informasi baru dalam pertemuan informal, sambil ngobrol sore-sore," kata Ishak.

Tak hanya itu, para petani di Desa Cibodas pun punya waktu libur, lho. Mereka mengatur sendiri waktu mereka beristirahat dan berkumpul seharian dengan keluarga. Betapa menyenangkannya menjadi petani modern, bukan?



Lanjut membaca “Petani Modern Yang Sukses”  »»

Desa Cibodas,Kampus Para Petani

Sayur-mayur tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Di desa berhawa dingin dengan tiupan angin menyejukkan ini, sayur ditanam di mana-mana. Di pekarangan, di samping, dan di belakang rumah, juga di kebun-kebun. Rumah-rumah di desa yang berketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut dengan suhu 18-26 derajat Celsius ini asri.

Sebagian besar rumah penduduknya bagus-bagus dengan dinding tembok dan lantai keramik. Jalan pun beraspal cukup mulus. Di depan jalan utama di Desa Cibodas bahkan ada kolam renang untuk anak-anak berekreasi dan berolahraga. Kolam itu berada dekat lahan pertanian sayur.

Rumah penduduk dengan halaman luas biasanya dihiasi rumput hijau dan bunga-bunga. Namun, banyak juga yang menjadikan pekarangan rumah sebagai sumber ekonomi, misalnya dengan menanami kaboca (labu jepang), seledri, bawang daun, dan brokoli, atau berbagai bibit sayuran untuk dijual kepada petani di sekitarnya.

Tina (26), seorang ibu rumah tangga, leluasa membantu suaminya menanam bibit cabai di halaman rumah sambil mengurus anaknya yang masih bayi. Di belakang rumahnya, ia juga menanam 30.000 bibit brokoli. Para petani di sekitarnya biasa membeli bibit langsung ke rumahnya dengan harga Rp 30 per kantong (polibag).

Demikian juga dengan Medi Juanda (53), seorang petani. Karena permintaan sayur dari para pedagang tidak bisa dipenuhi hanya dari kebunnya, Medi menggunakan halamannya untuk ditanami seledri dan bawang daun.

Di kebun-kebun tampak aneka warna sayuran. Ada yang ungu, putih, kuning, merah, hijau, oranye, hingga hitam. Seluruh warna begitu menggemaskan, segar, pekat, dan bersinar, menggiurkan untuk disantap. Dari sayur lokal hingga sayur yang bibitnya didatangkan dari Jepang atau Belanda.

Desa ini memproduksi kentang, kubis, brokoli, cabai merah, daun bawang, seledri, dan berbagai jenis tomat. Ada juga paprika belanda yang gemuk dan besar seperti apel. Tumbuh juga berbagai sayuran yang bibitnya dari Jepang, seperti mizuna (daun lobak), syungiku (kenikir), cisito (cabai), piman (paprika jepang yang berbentuk lonjong), kyuri (mentimun), damame (kedelai), satsumaimo (ubi jalar), ingen (buncis), nasubi (terung), gobo (semacam gingseng), kaboca (labu), sironegi (bawang daun), asparagus jepang, dan horenso (bayam).

Hampir seluruh keluarga di desa yang terletak di belakang Taman Wisata Maribaya ini menggantungkan hidup dari pertanian sayur atau hortikultura. Berdasarkan data tahun 2004, dari 8.904 penduduknya, ada 2.464 yang telah memiliki mata pencarian. Sebanyak 1.507 orang dari jumlah penduduk yang telah bekerja adalah petani, terdiri dari 746 petani pemilik lahan dan 761 buruh tani.

Sebagian besar petani mampu mengembangkan pertanian dengan pola modern mengikuti tuntutan teknologi budidaya pertanian. Selain itu, pasar komoditas pertanian di desa ini pun cukup berkembang. Hasil produksi sayur di desa ini dipasarkan ke Singapura, Taiwan, dan dalam waktu dekat akan diekspor ke Korea Selatan. Selain itu, ada petani yang menjualnya ke supermarket di Jakarta, Denpasar, Surabaya, dan Bandung. Sisanya untuk pasar-pasar induk di Jawa Barat dan Jakarta.

Dengan keberhasilan ini, rasanya sulit membayangkan bahwa desa yang dibuka oleh keluarga Eyang Sarja dan Pawira dari Cibeunying, Kota Bandung, tahun 1886 ini akan maju seperti sekarang. Sejak masa penjajahan, masyarakat di desa ini hidup dari pertanian sayur. Hanya saja, sayur yang ditanam waktu itu sebatas ubi jalar, jagung, cabai, kol, dan kentang.

Pada masa kemerdekaan hingga 1980-an, sebagian besar petani menjual produksinya ke pasar-pasar tradisional. Sayur yang akan dijual dimasukkan begitu saja ke dalam karung. Para petani hanya tahu menanam. Mereka lebih sering merugi karena mendapatkan harga sayur yang jatuh di musim panen.

Oleh karena itu, sebagian penduduk kampung tidak bisa hidup sejahtera. Rumah mereka yang berdinding anyaman bambu tampak kumuh dan reot. Penyakit menular menjangkiti penduduk karena lingkungan yang tidak sehat. Kandang ternak menempel langsung pada rumah-rumah penduduk.

Jika malam tiba, penduduk terisolasi karena listrik belum masuk. Listrik baru masuk ke desa itu tahun 1985. Jika turun hujan, jalan tanah yang menurun dan menanjak menjadi licin hingga sulit dilalui kendaraan. Kini jalan sudah beraspal, rumah-rumah sudah memiliki jamban sendiri. Rata-rata petani di desa ini berpenghasilan Rp 2 juta per bulan.

Para petani di desa ini bukan petani biasa. Meski sebagian besar hanya tamat sekolah dasar, mereka cukup percaya diri untuk saling tukar ilmu dengan para pejabat dari berbagai dinas pertanian di Indonesia, mahasiswa, serta petani dari luar negeri, seperti Nigeria dan negara-negara lainnya di Asia.

Setidaknya, desa ini menjadi langganan praktik lapangan dan tempat penelitian bagi orang- orang yang terjun di bidang pertanian hortikultura. Desa Cibodas ibarat kampus bagi para petani. Setiap tahun sekitar 200 tamu datang ke desa ini. Para tamu biasanya menginap sampai tiga hari, bahkan ada yang tinggal menetap sampai enam bulan.

Untuk penginapan dan makan, para tamu tak perlu pusing. Sejumlah warga bersedia memberikan tumpangan untuk menetap dengan tempat tidur dan jadwal makan teratur. Biayanya hanya berkisar Rp 90.000 per orang. Listrik dan air bisa dipakai dengan gratis.

Belajar bertani di desa ini bisa juga gratis, disesuaikan dengan kemampuan mereka yang ingin belajar. Sebab, untuk perorangan ada beberapa petani yang siap menampung dan memberi latihan dengan cara magang di kebunnya.

Ilmu yang bisa diberikan para petani meliputi pemilihan bibit, proses produksi, teknologi budidaya terbaru dan terbaik, pemasaran, pengemasan, hingga lalu lintas ekspor produk pertanian serta analisis usaha tani.

"Tidak perlu takut membagi ilmu. Toh, ilmu pertanian selalu berkembang. Selain itu, petani tidak boleh menyerah, sebab ilmu yang didapat di desa ini mungkin harus mendapat perlakuan yang sedikit berbeda karena kondisi alam yang tidak sama di tempat petani lain. Justru dengan begitu kami jadi saling bertukar ilmu," kata Doyo Mulyo Iskandar (38), seorang petani.

Mereka belajar dalam program Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S). Program inilah yang memajukan kehidupan pertanian di desa ini. Program ini didirikan dan dikelola Ishak (40), petani sayuran, setelah ia mendapat kesempatan magang mempelajari pertanian di Jepang.



Lanjut membaca “Desa Cibodas,Kampus Para Petani”  »»